Rabu, 17 November 2010

Bali Tourism Watch: Hindu hanya Mengenal Warna, Bukan Kasta

 (Pelapisan sosial dan persamaan derajat)


[proletar] Reinkarnasi Konflik 1920-an

dipo
Sun, 06 May 2007 11:25:06 -0700
Tidak perlu malu mengakui penggusuran-penggusuran yang terjadi selama ini sebagai konflik vertikal bernapaskan feodal-kolonialisme. Karena secara struktural, pemerintah (sampai ke jajaran polisi pamong) toh bertingkah sebagai penguasa wilayah, dan secara sosial memperlakukan dirinya sebagai "kasta" yang lebih tinggi dari rakyat. Selain konflik vertikal yang terjadi hampir setiap hari, konflik horisontal di Bali 20 Maret 2007 lalu merupakan pertanda kesekian dari hilangnya kesetaraan di dalam masyarakat. Perbedaan bukan lagi menjadi bagian terpenting dari kebinekaan, melainkan kembali menjadi alat penguasa untuk memperlemah kedudukan rakyat. Tentu bukan perbedaan "kasta" yang harus dipertahankan. Juga bukan cuma kesetaraan di kelompoknya sendiri yang harus diakui. Kesetaraan manusia di segala golongan itulah yang harus kita tegakkan. Penelantaran korban lumpur Sidoarjo adalah bentuk paling nyata dari keberpihakan pemerintah kepada kasta hartawan. Menyelewengkan arti "kesetaraan" & "perbedaan" yang bukan saja mengkhianati rakyat tapi lebih dari itu, mengkhianati kemanusiaan. ---
Reinkarnasi Konflik 1920-an Putu Wirata Dwikora Sehari setelah Nyepi, 19 Maret 2007, warga dari wangsa brahmana di Desa Tusan mengalami saat-saat mengerikan. Dalam suasana kusuk bharata panyepian saat umat Hindu melaksanakan pengendalian diri di Tahun Baru Saka 1929, sekelompok orang membakar dan merusak belasan rumah mereka. Ratusan warga pun mengungsi ke Polres Klungkung. Dalam sepekan, polisi menangkap sejumlah tersangka, termasuk orang yang diduga provokator. Lebih hebat lagi, tidak sampai sebulan, dua kelompok yang selama ini bersitegang-yakni warga yang secara sosiologis dianggap jaba wangsa dan satunya lagi adalah warga brahmana wangsa itu-berhasil "didamaikan''. Pemerintah Klungkung dan sejumlah tokoh setempat berhasil memediasi dua kelompok tersebut, antara lain dalam bentuk gotong royong untuk membersihkan dan mungkin sampai memperbaiki rumah-rumah warga wangsa brahmana yang dibakar dan dirusak itu. Kalau perdamaian yang dimediasi pemerintah dan tokoh itu memang sejatinya demikian, kesepakatan damai dua pihak yang bersitegang ini patut memperoleh acungan jempol. Namun, kalau perdamaian tersebut hanyalah kesepakatan di atas kertas yang sekadar target dan eufimisme politik untuk menjaga citra tokoh dan pejabat untuk mencitrakan bahwa masalahnya sudah selesai tentu kita menyayangkannya. Memang, tidak banyak yang coba mempertanyakan lebih dalam lagi, apakah perdamaian jaba wangsa dengan brahmana wangsa di Tusan-Klungkung itu sudah sampai pada solusi ke akar masalahnya. Ataukah perdamaian yang diperlihatkan dengan gotong royong bersama kedua belah pihak yang bersitegang itu adalah tahap awal, yang untuk sampai pada penyelesaian tuntas masih butuh langkah-langkah dan solusi yang berkelanjutan? Saya menduga perdamaian yang disertai gotong royong bersama memperbaiki rumah brahmana wangsa yang dibakar itu adalah tahap awal, satu tahap yang bisa bermanfaat bila diteruskan ke langkah-langkah solutif, tetapi bisa berhenti sampai perdamaian di atas kertas yang menyimpan bara bila tidak ada penyelesaian terhadap akar masalah yang menjadi asal-usul ketegangan. Untuk sampai pada solusi yang lebih komprehensif, semua pihak harus dengan lega hati membongkar sampai ke akar- akarnya bahwa di balik ketegangan berbau adat antara jaba wangsa dan brahmana wangsa di Desa Tusan-Klungkung itu, sejatinya ada masalah lain, yakni ketegangan yang muncul dari tiadanya kesetaraan. "Suryakanta-Bali Adnyana" Konflik dan kekerasan di Desa Tusan di antara dua kelompok yang bila dipandang dari stratifikasi sosial berdasarkan wangsa atau kasta di Bali hanyalah salah satu dari sekian kekerasan yang berkaitan dengan tiadanya kesetaraan. Ia bisa dicatat sebagai warisan tradisi Hindu Bali selama lebih dari 600 tahun yang membagi masyarakat dalam empat kelompok wangsa/kasta, dikenal sebagai catur wangsa, mulai dari wangsa brahmana, wangsa ksatria, wangsa wesia, dan wangsa sudra. Tiga yang pertama digolongkan sebagai triwangsa yang masuk kasta bangsawan dengan status lebih tinggi dan yang terakhir adalah wangsa jaba, di luar wangsa bangsawan dan statusnya lebih rendah. Pada tahun 1920-an, dimulai di Bali utara, tradisi catur wangsa ini memperoleh perlawanan keras dari pemikir dan kelompok yang menurunkan tulisan-tulisannya di buletin Suryakanta. Mereka menolak feodalisme, menolak strata yang didasarkan pada keturunan, mendorong kembali ke catur warna, seperti diatur dalam kitab suci Weda. Catur warna ini memang membagi profesi dalam empat kelompok: brahmana, ksatria, wesia, sudra. Pembagian ini berdasarkan profesi, bukan kelahiran. Yang masuk dalam brahmana warna adalah walaka/warga biasa yang telah melewati proses inisiasi dwijati, bukan semata-mata orang dari kelompok dengan gelar tradisional Ida Bagus, seperti yang selama ini dianut dalam kultur tradisi Bali. Pandangan Suryakanta ini memperoleh perlawanan dari kelompok feodalis yang kemudian menurunkan argumen-argumennya dalam buletin Bali Adnyana. Sepanjang 90 tahun sejak 1920-an itu, ketegangan antara kelompok pembaruan ala Suryakanta versus Bali Adnyana berlangsung di tanah Pulau Dewata ini. Format terkecil dari konflik ini tentu saja tampak di desa-desa adat, seperti halnya Desa Tusan di Klungkung tersebut. Di luar Desa Tusan-Klungkung masih ada sejumlah desa di Kecamatan Tampaksiring-Gianyar dan Desa Kutri-Kecamatan Sukawati, mengalami pola konflik di mana yang bersitegang adalah dua kelompok ini: brahmana wangsa vs sudra wangsa. Substansi konfliknya memang bisa bermacam-macam. Bisa berupa beda pandangan mengenai kewajiban-kewajiban sebagai warga desa adat, bisa pula beda persepsi mengenai status insani sebagai umat manusia. Tanpa mengabaikan perdamaian dan penyelesaian-penyelesaian temporer di antara dua kelompok yang berkonflik ini, penyelesaian tak akan pernah abadi kecuali kalau akar masalah yang tersembunyi dalam hubungan kesetaraan dua kelompok ini tidak dituntaskan. Memang, kalau bicara kuantitas, dari 1.500 lebih desa adat di Bali, jumlah desa yang warga adatnya berkonflik secara fisik seperti di Desa Tusan- Klungkung ini relatif sangat sedikit. Ini bukan apologi untuk menganggap, yang kecil ini tidak penting. Namun, justru penting untuk menengok pada sebagian besar dari 1.500 desa adat di Bali ini yang bisa menjaga toleransi dan secara terus-menerus membangun hubungan yang setara, meninggalkan tradisi budaya feodal yang tidak relevan, membangun budaya baru dalam hubungan antarmanusia yang setara. Konflik-konflik seperti yang terjadi di Desa Tusan-Klungkung itu bagaimanapun membutuhkan keberanian untuk membeberkan bahwa di situ ada ketidakadilan dalam bentuk ketidaksetaraan, sesuatu yang terwariskan dari tradisi ratusan tahun silam.

source :http://www.mail-archive.com/proletar@yahoogroups.com/msg32074.html


SOLUSI

Tak bisa tidak, semua kelompok mesti menyadari bahwa realitas wangsa telah berakhir atau setidaknya harus direvisi ke konsep yang mengedepankan kualitas personalnya dalam posisi yang benar- benar setara. Orang bisa memperoleh kehormatan bukan semata-mata karena keturunan, tetapi kehormatan karena prestasi dan dedikasi kepada umat manusia. Bhisama (fatwa) Sabha Pandita Parisada Hindu Dharma Indonesia-majelis tertinggi umat Hindu di Indonesia-tentang pengamalan catur warna, bukan catur kasta/wangsa, merupakan bentuk konkret bahwa majelis Hindu itu mengarahkan umatnya untuk duduk dalam posisi yang setara, saling menghargai, toleran, dan bekerja sama. Kita menyesalkan dan menyayangkan tindak anarki orang yang memaksakan kekerasan terhadap kelompok lain yang berbeda pandangan-dan proses hukum mesti dilakukan tanpa pandang bulu-tapi kita juga menyesalkan kelompok yang merasa status kemanusiaannya lebih tinggi. Perasaan lebih tinggi ini telah menyulut kekerasan dan menjadi penyebab penderitaan individu-individu yang belum tentu merasa lebih superior, tetapi mereka menjadi korban karena berada dalam kelompok yang "dimusuhi'' kelompok lainnya. Putu Wirata Dwikora, Sekretaris Sabha Walaka PHDI Pusat.

source :  :http://www.mail-archive.com/proletar@yahoogroups.com/msg32074.html





Tidak ada komentar:

Posting Komentar